Senin, 14 Juni 2010 | 09:29 WIB
NASA
Pesawat DC-8 Airborne Laboratory milik NASA merekam wahana Hayabusa yang terbakar saat memasuki atmosfer Bumi, Minggu (13/6/2010). Kapsul berisi sampel asteroid Itokawa yang dibawanya diyakini aman karena sudah dilengkapi pelindung panas.
KOMPAS.com — Bicara soal asteroid, sebuah kabar gembira tiba hari Minggu (13/6/2010). Pesawat penelitian ruang angkasa Jepang, Hayabusa, telah kembali ke Bumi dengan membawa contoh debu dari asteroid Itokawa. Debu tersebut diharapkan bisa membuka teka-teki proses awal pembentukan sistem Matahari pada tata surya kita.
Hayabusa yang mendarat di daerah terlarang militer Woomera di bagian selatan Australia itu mengangkasa tahun 2003. Dia mencapai asteroid berbentuk kentang Itokawa pada 2005. Sekretaris Parlemen Australia untuk Inovasi dan Industri Richard Marles berkomentar, "Sebenarnya, untuk membawa sampel itu ke planet ini sudah terlambat. Namun, itu lebih baik daripada tidak. Sungguh sebuah pencapaian yang menakjubkan."
Sementara itu, ingatan kita mungkin masih segar. Bulan lalu Jakarta digegerkan oleh jatuhnya meteoroid di sebuah rumah di Duren Sawit, Jakarta. Kabar serupa datang dari Bima, Nusa Tenggara Barat—yang kemudian terbukti hanya akibat dari rusaknya jaringan listrik. Sebelumnya, telah ada beberapa catatan meteoroid jatuh di wilayah Indonesia.
Di Australia barat, tahun 1960, dua pekerja di Millbillillie menyaksikan sebuah bola api meluncur ke bumi. Sepuluh tahun kemudian baru ditemukan serpihan meteoroid.
Survei oleh institusi the International Spaceguard sejak tahun 1998 telah menghasilkan katalog berisi semua asteroid yang jaraknya cukup dekat dengan Bumi (near earth asteroids/NEA). Asteroid-asteroid tersebut diameternya lebih panjang dari satu kilometer. Di sisi lain, asteroid kecil yang diameternya berukuran kurang dari satu kilometer sebagian besar masih tidak terdeteksi.
Meskipun impak langsung akibat ditumbuk asteroid kecil tidak bersifat ekstrem, asteroid kecil ini jumlahnya amat banyak. Mereka berkeliaran di luar angkasa. Akibatnya, kemungkinan tertumbuk asteroid kecil semakin besar. Peristiwa inilah yang diteliti dan impak tumbukannya dihitung.
Dari bumi ke angkasa
Sebelum tahun 1991, informasi tentang asteroid hanya bisa didapatkan melalui penelitian yang berbasis di Bumi. Sejumlah penelitian berbasis Bumi yang dilakukan, di antaranya, adalah pada asteroid Toutatis, Castalia, Geographos, dan Vesta.
Toutatis, Geographos, dan Castalia diamati dengan radar saat mereka berada di dekat Bumi, sementara Vesta diamati dengan teleskop ruang angkasa Hubble.
Baru pada Oktober 1991, asteroid 951 Gaspra didatangi oleh pesawat ruang angkasa Galileo. Ini merupakan asteroid yang pertama kali bisa dipotret dengan resolusi tinggi. Galileo kembali mengamati asteroid, kali ini asteroid 243 Ida pada Agustus 1993. Keduanya dimasukkan ke dalam klasifikasi tipe-S, komposisinya dominan unsur silikat.
Pada 27 Juni 1997, pesawat ruang angkasa NEAR mendekati asteroid 253 Mathilde dengan kecepatan tinggi. Hal itu merupakan pertama kalinya para ilmuwan bisa mengamati dari dekat asteroid tipe-C, asteroid ini kaya akan unsur karbon. Penelitian ini unik karena NEAR tidak dirancang untuk melakukan penerbangan di dekat asteroid itu. NEAR ditujukan untuk mengamati asteroid Eros pada Januari 1999.
Dampak tumbukan
Penelitian awal itu dilakukan untuk meneliti dampak dari tumbukan sejalan peningkatan energi. Sebuah asteroid berbentuk telur berkecepatan sekitar 19.000 kilometer per detik dengan diameter bervariasi (bentuknya tidak rata) akan meningkat energi kinetiknya.
Contohnya, sebuah asteroid berdiameter 100 meter akan menyebabkan kematian di lokasi setempat dan kerusakan luas yang bisa menjangkau hingga ke beberapa negara saat asteroid menumbuk Bumi entah di daratan atau di lautan.
Sementara asteroid berdiameter 200 meter yang menghantam Bumi di lautan impaknya amat signifikan, antara lain bisa memicu terjadinya tsunami yang berdampak global. Adapun asteroid berdiameter 500 meter yang jatuh di lautan akan menyebabkan kematian masif dan kerugian ekonomi skala global.
Nick Bailey dari Universitas Southampton Jurusan Ilmu Teknik, Inggris, bersama rekannya, Dr Graham Swinerd dari universitas yang sama, dan Dr Richard Crowther dari Laboratorium Rutherford Appleton Laboratory, Inggris, telah mengembangkan perangkat lunak yang mampu mengukur besarnya potensi risiko tumbukan asteroid pada Bumi.
Perangkat lunak itu dinamai NEOimpactor. Perangkat ini secara khusus dikembangkan untuk mengukur dampak dari tumbukan asteroid berukuran "kecil"—berdiameter kurang dari satu kilometer—ke Bumi.
"Potensi ancaman asteroid menabrak Bumi semakin hari semakin disadari dan diterima sebagai bencana alam tunggal terbesar yang dihadapi oleh kemanusiaan," ujar Bailey.
Tim peneliti tersebut menggunakan data mentah dari simulasi impak beruntun. Hasilnya digunakan untuk menetapkan peringkat setiap negara. Peringkat tersebut didasarkan pada seberapa sering sebuah wilayah akan dihantam asteroid dan seberapa parah dampak dari setiap tumbukan tersebut.
Hasilnya menunjukkan, ada 10 negara yang paling berisiko kejatuhan asteroid, yaitu China, Indonesia, India, Jepang, Amerika Serikat, Filipina, Italia, Inggris, Brasil, dan Nigeria.
Jika dilihat dari sudut korban jiwa, China, Indonesia, India, Jepang, dan Amerika Serikat adalah negara-negara yang paling terancam. Artinya, korban jiwa akan sangat banyak. Sementara dari segi dampak ekonomi terparah, negara-negara seperti Amerika Serikat, China, Swedia, Kanada, dan Jepang adalah yang paling menderita karena hancurnya infrastruktur.
Dari dua aspek dampak tersebut, Inggris berada di urutan kedelapan dalam daftar negara-negara paling rawan terkena dampak. Dari daftar 20 besar untuk kedua dampak itu, lebih dari 10 negara muncul pada kedua daftar dampak. "Dampaknya pada populasi dunia dan pada infrastruktur memang luar biasa besar," kata Nick.
"Sekitar seratus tahun lalu, sebuah lokasi yang terpencil di dekat Sungai Tunguska di kawasan Siberia menjadi lokasi jatuhnya meteoroid. Dampaknya amat luar biasa, padahal asteroidnya hanya berdiameter sekitar 50 meter. Asteroid tersebut meledak di udara. Dampak saat itu hanya berupa hancurnya hutan—yang langsung rata dengan tanah," tambahnya.
Dia melanjutkan, kalau saja asteroid jatuh di London, dampaknya sama dengan dampak yang diakibatkan gempa besar bermagnitudo 25 (M25), yang berarti bisa menghancurkan semua yang ada di sekitar episentrum. Catatan: magnitudo di atas 8 memiliki kategori tersebut: menghancurkan semuanya yang ada di sekitar episentrum.
"Dari hasil itu berarti, negara-negara tersebut merupakan negara-negara yang terbesar berisiko mengalami bencana besar. Oleh karena itu, mereka harus segera menyiapkan langkah-langkah mitigasi menghadapi ancaman itu," tutur Nick.
Bencana yang mengintip dari luar angkasa selama ini memang tidak terlalu populer. Jauh berbeda dibandingkan dengan bencana geologis atau bencana iklim. Bencana dari luar angkasa memang jarang terjadi, tetapi dampaknya sebenarnya bisa amat masif. (Nationalgeographic.com, Solarviews.com/AFP/BRIGITTA ISWORO L)
Hayabusa yang mendarat di daerah terlarang militer Woomera di bagian selatan Australia itu mengangkasa tahun 2003. Dia mencapai asteroid berbentuk kentang Itokawa pada 2005. Sekretaris Parlemen Australia untuk Inovasi dan Industri Richard Marles berkomentar, "Sebenarnya, untuk membawa sampel itu ke planet ini sudah terlambat. Namun, itu lebih baik daripada tidak. Sungguh sebuah pencapaian yang menakjubkan."
Sementara itu, ingatan kita mungkin masih segar. Bulan lalu Jakarta digegerkan oleh jatuhnya meteoroid di sebuah rumah di Duren Sawit, Jakarta. Kabar serupa datang dari Bima, Nusa Tenggara Barat—yang kemudian terbukti hanya akibat dari rusaknya jaringan listrik. Sebelumnya, telah ada beberapa catatan meteoroid jatuh di wilayah Indonesia.
Di Australia barat, tahun 1960, dua pekerja di Millbillillie menyaksikan sebuah bola api meluncur ke bumi. Sepuluh tahun kemudian baru ditemukan serpihan meteoroid.
Survei oleh institusi the International Spaceguard sejak tahun 1998 telah menghasilkan katalog berisi semua asteroid yang jaraknya cukup dekat dengan Bumi (near earth asteroids/NEA). Asteroid-asteroid tersebut diameternya lebih panjang dari satu kilometer. Di sisi lain, asteroid kecil yang diameternya berukuran kurang dari satu kilometer sebagian besar masih tidak terdeteksi.
Meskipun impak langsung akibat ditumbuk asteroid kecil tidak bersifat ekstrem, asteroid kecil ini jumlahnya amat banyak. Mereka berkeliaran di luar angkasa. Akibatnya, kemungkinan tertumbuk asteroid kecil semakin besar. Peristiwa inilah yang diteliti dan impak tumbukannya dihitung.
Dari bumi ke angkasa
Sebelum tahun 1991, informasi tentang asteroid hanya bisa didapatkan melalui penelitian yang berbasis di Bumi. Sejumlah penelitian berbasis Bumi yang dilakukan, di antaranya, adalah pada asteroid Toutatis, Castalia, Geographos, dan Vesta.
Toutatis, Geographos, dan Castalia diamati dengan radar saat mereka berada di dekat Bumi, sementara Vesta diamati dengan teleskop ruang angkasa Hubble.
Baru pada Oktober 1991, asteroid 951 Gaspra didatangi oleh pesawat ruang angkasa Galileo. Ini merupakan asteroid yang pertama kali bisa dipotret dengan resolusi tinggi. Galileo kembali mengamati asteroid, kali ini asteroid 243 Ida pada Agustus 1993. Keduanya dimasukkan ke dalam klasifikasi tipe-S, komposisinya dominan unsur silikat.
Pada 27 Juni 1997, pesawat ruang angkasa NEAR mendekati asteroid 253 Mathilde dengan kecepatan tinggi. Hal itu merupakan pertama kalinya para ilmuwan bisa mengamati dari dekat asteroid tipe-C, asteroid ini kaya akan unsur karbon. Penelitian ini unik karena NEAR tidak dirancang untuk melakukan penerbangan di dekat asteroid itu. NEAR ditujukan untuk mengamati asteroid Eros pada Januari 1999.
Dampak tumbukan
Penelitian awal itu dilakukan untuk meneliti dampak dari tumbukan sejalan peningkatan energi. Sebuah asteroid berbentuk telur berkecepatan sekitar 19.000 kilometer per detik dengan diameter bervariasi (bentuknya tidak rata) akan meningkat energi kinetiknya.
Contohnya, sebuah asteroid berdiameter 100 meter akan menyebabkan kematian di lokasi setempat dan kerusakan luas yang bisa menjangkau hingga ke beberapa negara saat asteroid menumbuk Bumi entah di daratan atau di lautan.
Sementara asteroid berdiameter 200 meter yang menghantam Bumi di lautan impaknya amat signifikan, antara lain bisa memicu terjadinya tsunami yang berdampak global. Adapun asteroid berdiameter 500 meter yang jatuh di lautan akan menyebabkan kematian masif dan kerugian ekonomi skala global.
Nick Bailey dari Universitas Southampton Jurusan Ilmu Teknik, Inggris, bersama rekannya, Dr Graham Swinerd dari universitas yang sama, dan Dr Richard Crowther dari Laboratorium Rutherford Appleton Laboratory, Inggris, telah mengembangkan perangkat lunak yang mampu mengukur besarnya potensi risiko tumbukan asteroid pada Bumi.
Perangkat lunak itu dinamai NEOimpactor. Perangkat ini secara khusus dikembangkan untuk mengukur dampak dari tumbukan asteroid berukuran "kecil"—berdiameter kurang dari satu kilometer—ke Bumi.
"Potensi ancaman asteroid menabrak Bumi semakin hari semakin disadari dan diterima sebagai bencana alam tunggal terbesar yang dihadapi oleh kemanusiaan," ujar Bailey.
Tim peneliti tersebut menggunakan data mentah dari simulasi impak beruntun. Hasilnya digunakan untuk menetapkan peringkat setiap negara. Peringkat tersebut didasarkan pada seberapa sering sebuah wilayah akan dihantam asteroid dan seberapa parah dampak dari setiap tumbukan tersebut.
Hasilnya menunjukkan, ada 10 negara yang paling berisiko kejatuhan asteroid, yaitu China, Indonesia, India, Jepang, Amerika Serikat, Filipina, Italia, Inggris, Brasil, dan Nigeria.
Jika dilihat dari sudut korban jiwa, China, Indonesia, India, Jepang, dan Amerika Serikat adalah negara-negara yang paling terancam. Artinya, korban jiwa akan sangat banyak. Sementara dari segi dampak ekonomi terparah, negara-negara seperti Amerika Serikat, China, Swedia, Kanada, dan Jepang adalah yang paling menderita karena hancurnya infrastruktur.
Dari dua aspek dampak tersebut, Inggris berada di urutan kedelapan dalam daftar negara-negara paling rawan terkena dampak. Dari daftar 20 besar untuk kedua dampak itu, lebih dari 10 negara muncul pada kedua daftar dampak. "Dampaknya pada populasi dunia dan pada infrastruktur memang luar biasa besar," kata Nick.
"Sekitar seratus tahun lalu, sebuah lokasi yang terpencil di dekat Sungai Tunguska di kawasan Siberia menjadi lokasi jatuhnya meteoroid. Dampaknya amat luar biasa, padahal asteroidnya hanya berdiameter sekitar 50 meter. Asteroid tersebut meledak di udara. Dampak saat itu hanya berupa hancurnya hutan—yang langsung rata dengan tanah," tambahnya.
Dia melanjutkan, kalau saja asteroid jatuh di London, dampaknya sama dengan dampak yang diakibatkan gempa besar bermagnitudo 25 (M25), yang berarti bisa menghancurkan semua yang ada di sekitar episentrum. Catatan: magnitudo di atas 8 memiliki kategori tersebut: menghancurkan semuanya yang ada di sekitar episentrum.
"Dari hasil itu berarti, negara-negara tersebut merupakan negara-negara yang terbesar berisiko mengalami bencana besar. Oleh karena itu, mereka harus segera menyiapkan langkah-langkah mitigasi menghadapi ancaman itu," tutur Nick.
Bencana yang mengintip dari luar angkasa selama ini memang tidak terlalu populer. Jauh berbeda dibandingkan dengan bencana geologis atau bencana iklim. Bencana dari luar angkasa memang jarang terjadi, tetapi dampaknya sebenarnya bisa amat masif. (Nationalgeographic.com, Solarviews.com/AFP/BRIGITTA ISWORO L)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih telah mengunjungi blog saya. Mohon kritikan dan sarannya ya :)