Segitiga Konflik Galtung PLTU Batang



Tulisan ini akan mengkaji kebijakan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang yang terletak di Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari perspektif konflik. Penulis tertarik mengambil studi kasus di Batang dilandasi dua faktor, yakni (1) secara empiris, PLTU Batang merupakan proyek strategis nasional, di mana dalam proses pelaksanaan (implementasi) kebijakan pembangunan menemui banyak permasalahan konflik horisontal antara Pemerintah dengan masyarakat Batang; (2) tinjauan teoritis, beberapa penelitian sebelumnya terkait permasalahan pembangunan PLTU Batang belum mengangkat dari perspektif studi konflik secara utuh, terutama dari Teori Segitiga Konflik Galtung.

PLTU Batang atau Central Java Power Plant (CJPP) adalah proyek pembangkit listrik tenaga uap ultra critical sebesar 2 x 1.000 MW di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. PLTU Batang akan dibangun oleh Special Purpose Vehicle (SPV) PT Bhimasena Power Indonesia yang beranggotakan J-POWER (34%), Adaro (34%), dan Itochu (32%). Proyek ini telah mendapatkan penjaminan dari PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dan Pemerintah Pusat untuk risiko politik dan force majeure. PLTU Batang atau Central Java Power Plant (CJPP) ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di Pulau Jawa dan merupakan bagian dari program penyediaan listrik 35.000 MW. Sebagai salah satu pilot project KPBU pertama dan terbesar di Indonesia, PLTU Jawa Tengah memiliki peran strategis untuk mendorong keterlibatan investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur (kppip, 2019).

Dalam proses pembangunan di lapangan, megaproyek tersebut banyak menemui beberapa kendala, Ismail (2014) merangkum tiga kendala yang dihadapi: 

Pertama, Kendala Kebijakan dimana adanya tumpang tindih kebijakan dimana Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011, tanggal 19 September 2011, adalah perubahan atas Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005, tanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang. Keputusan Bupati Nomor 523/306/2011 yang baru tersebut anehnya justru bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029, maupun Perda Kabupaten Batang Nomor 07 Tahun 2011 tentang RTRW wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031, yang menyebutkan bahwa kawasan Konservasi laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban dengan luas ± 6.889,75 Ha merupakan Kawasan Perlindungan Terumbu Karang.

Kedua, Kendala terkait Sumber Daya Manusia di Kabupaten Batang adalah kurangnya orang-orang yang berkompeten dan dapat bekerja profesional dalam bidangnya. Contoh kasus Sumber Daya Manusia dari pihak investor juga kurang cerdas dalam melakukan sosialisasi dengan masyarakat lokal. Pendekatan langsung tanpa berkoordinasi dengan tokoh masyarakat ataupun aparat setempat inilah yang pada akhirnya membuat masyarakat takut dan menutup akses untuk orang asing masuk.

Ketiga, Kendala dalam Masyarakat yaitu: (1) kehilangan mata pencaharian bagi buruh tani; (2) sawah, tanah dan laut sebagai tempat mata pencaharian warga yang akan tergusur dan mereka terancam tidak memiliki pekerjaan; (3) ketakutan terhadap berbagai isu pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan bakar batu bara dalam proyek PLTU nantinya; (4) lokasi sawah dan kebun pengganti yang jauh dari permukiman yang hanya akan menambah beban baru; (5) ketakutan perubahan sosial akibat dibangunnya proyek PLTU nantinya, seperti gaya hidup hedonisme, nilai-nilai kearifan lokal yang luntur, munculnya individualisme dan lain-lain kerusakan moral yang ditakutkan.

Berkaitan dengan kendala ketiga dalam masyarakat di atas, memang sejak awal rencana pembangunannya, megaproyek ini telah mendapatkan penolakan dari warga sekitar lokasi pembangunan proyek dan kalangan masyarakat sipil, seperti Greenpeace Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan). Menurut kajian Greenpeace Indonesia, PLTU Batubara Batang akan melepas emisi karbon pemicu perubahan iklim sebesar 10,8 juta ton pertahun, atau lebih besar dari emisi negara Myanmar pada tahun 2009. Selain emisi karbon, PLTU ini juga diperkirakan akan melepas emisi merkuri sekitar 200 kilogram pertahun, jumlah yang sangat besar untuk mencemari perairan Batang dan menghancurkan sektor perikanan Pantai Utara Jawa (Ashartanto, 2018).

Penolakan warga terhadap PLTU Batubara Batang ini sudah berlangsung selama 4 tahun lebih. Akibat penolakan warga yang konsisten ini, maka rencana pembangunan PLTU Batang di wilayah Ujungnegoro-Roban, Batang ini telah tertunda selama lima tahun. Hambatan terbesar yang mengganjal megaproyek ini adalah penolakan warga untuk menjual lahannya kepada Konsorsium PT. Bhimasena Power Indonesia (PT. BPI), sebagai pihak swasta yang memenangkan tender proyek ini. Penolakan warga didasari kekuatiran kehilangan mata pencaharian mereka sebagai petani dan nelayan, dan juga potensi kerusakan lingkungan serta polusi udara dari PLTU Batubara jika proyek tersebut dipaksakan dibangun di desa mereka.

Meski masih terkendala pembebasan lahan pada tanggal 28 Agustus 2015 pembangunan PLTU sudah mulai berjalan setelah bapak Presiden Republik Indonesia, bapak Jokowi meletakkan batu pertamanaya sebagai simbol dimulainya pembangunan PLTU. Setelah berbagai bujukan di keluarkan, namun tetap mendapat penolakan. Pada hari Selasa 20 September 2016, pihak BPI membuat pagar seng sepanjang 5 kilometer untuk menghalangi jalan persawahan yang dimiliki oleh warga. Seng memang sudah di pasang, wargapun tetap berusaha ingin masuk ke area persawahannya dengan cara merusaknya (BBC, 2015).

Dari pemaparan di atas, penulis tertarik menggali permasalahan implementasi kebijakan pembangunan PLTU Batang dengan satu rumusan masalah: Bagaimana konflik kebijakan yang terjadi dalam pembangunan PLTU Batang dilihat dari perspektif segitiga konflik Galtung?


Galtung Triangle Conflict

Dalam teori konflik yang dibawa Galtung (2000) terdapat aspek-aspek kunci dalam konflik, meliputi Attitude (sikap), Behavior (perilaku), dan Contradiction (kontradiksi) serta dirumuskan menjadi : Conflict (konflik) = Attitude (sikap) + Behavior (perilaku) + Contradiction (kontradiksi). Dari rumusan tersebut Galtung menjelaskan bahwa konflik terjadi berdasarkan tiga aspek kunci, yaitu: (a) situasi: ketidakselarasan tujuan, kebutuhan, dan kepentingan berbagai pihak yang bersumber dari kondisi struktur sosial, nilai sosial, kelangkaan, kompetisi dan perubahan; (b) sikap: aspek-aspek kognisi (seperti konstruksi 'musuh') dan emosi (seperti rasa benci dan bermusuhan) yang dialami pihak-pihak yang terlibat konflik, yang bersumber dari naluri agresif, ketegangan pribadi, frustasi kelompok; (c) perilaku : kegiatan, perkataan, dan perilaku aktual yang terpolarisasi dan merusak dari pihak-pihak yang bertikai.

Menurut Johan Galtung (2000), konflik dapat dicegah atau diatur jika pihak pihak yang berkonflik dapat menemukan cara atau metode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan menyepakati aturan main untuk mengatur konflik. Johan Galtung kemudian menawarkan beberapa model yang dapat dipakai sebagai proses resolusi konflik, diantaranya :

  1. Peace keeping atau operasi keamanan yang melibatkan aparat keamanan dan militer. Hal ini perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain

  2. Peace making, yakni upaya negoisasi antara kelompok-kelompok yang berkepentingan

  3. Peace building, yakni strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih menekankan pada kualitas interaksi daripada kuantitas.


Dinamika Konflik

Untuk melihat dinamika konflik kebijakan dalam pembangunan PLTU Batang menggunakan teori segitiga ABC Galtung yang didalamnya terdapat tiga aspek, yaitu Contradiction (kontradiksi), Attitude (Sikap), dan Behavior (Perilaku). Dari ketiga aspek tersebut peneliti dapat mengetahui poin-poin seperti faktor penyebab, pihak yang terlibat, persepsi selama konflik berlangsung, perilaku yang muncul, dan lain sebagainya. Selain itu, peneliti dapat mengetahui rangkaian dari ketiga aspek dalam mempengaruhi cara menyelesaikan konflik. Berikut penjelasan dari masing-masing aspek.

  1. Contradiction (kontradiksi)

Komponen pertama, contradiction (kontradiksi) mengacu pada sesuatu yang mendasari suatu konflik berupa ‘incompatibility of goals’ atau ketidakcocokan tujuan antara para pihak yang terlibat. 

  • Paguyuban UKPWR

Dalam konflik pembangunan PLTU Batang, masyarakat terdampak yang tergabung dalam Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) berpandangan bahwa kebijakan pembangunan PLTU Batang akan berdampak dari aspek ekonomi dan lingkungan. Dari sisi ekonomi, nelayan tidak lagi mempunyai sawah garapan dengan adanya penggusuran lahan, begitu juga dengan sisi lingkungan, sumber utama penggerak PLTU adalah batu bara, sehingga menurut masyarakat akan berdampak ke polusi udara dan perairan laut tempat di mana nelayan biasa mencari ikan (Greenpeace, 2016). 

  • Greenpeace

Menurut kajian Greenpeace Indonesia, PLTU Batubara Batang akan melepas emisi karbon pemicu perubahan iklim sebesar 10,8 juta ton pertahun, atau lebih besar dari emisi negara Myanmar pada tahun 2009. Selain emisi karbon, PLTU ini juga diperkirakan akan melepas emisi merkuri sekitar 200 kilogram pertahun, jumlah yang sangat besar untuk mencemari perairan Batang dan menghancurkan sektor perikanan Pantai Utara Jawa. Pembangkit listrik yang akan dibangun ini akan menghancurkan kawasan konservasi laut yang telah dilindungi undang-undang karena pembangkit listrik menggunakan batubara. Peraturan Pemerintah nomor 26/2008 tentang kawasan konservasi ini dilanggar dengan dalih pembangunan. Lahan subur yang berada di empat desa yang mayoritas digunakan untuk bertani, mencemari perairan nelayan, mengancam mata pencaharian warga yang lebih dari 10.000 nelayan skala kecil. Ditam (Greenpeace, 2017).

  • Pemerintah

Pada tahun 2010, pertumbuhan permintaan listrik di Jawa Tengah baru mencapai 6,5%, namun pertumbuhan permintaan listrik meningkat hingga mencapai rata-rata 7-8% pertahun, sementara pembangkit listrik yang ada di Jawa Tengah, seperti Tanjung Jati, Rembang, Cilacap dan Tambak Lorok belum mencukupi permintaan pasokan listrik untuk pulau Jawa saat ini (detik.com, 2010). 

Tambahan pembangkit listrik perlu ditambah karena untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Energi listrik merupakan salah satu elemen penting untuk kelangsungan hidup. Guna menopang kinerja dari seluruh aktivitas yang dilakukan. Namun seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan energy listrik akan semakin meningkat.


  1. Attitude (sikap)

Komponen kedua, attitude (sikap) mencakup pengertian tentang persepsi dan mis-persepsi antara pihak yang satu dengan yang lain, ataupun dengan pihaknya sendiri. Terkadang attitude menghasilkan stereotip untuk merendahkan pihak yang lain yang dipengaruhi oleh emosi seperti rasa takut, kemarahan dan kebencian.

  • Paguyuban UKPWR

Warga sekitar terdampak pembangunan PLTU melakukan perlawanan. Sebagai tindakan dalam menolak pembangunan PLTU, warga Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng dan Roban sering mengadakan diskusi untuk kelanjutan aksi-aksi perlawanan. Paguyuban UKPWR senantiasa gemakan komitmen dengan jargon “Tolak PLTU harga mati” dari awal. Sampai titik darah penghabisan, keyakinan mereka tetap sama, yaitu menolak. 

Tujuan besar dari paguyuban UKPWR adalah dibatalkannya pembangunan mega proyek PLTU di kawasan konservasi. Seperti yang sudah diceritakan bahwa kondisi pesisir pantai Ujungnegoro-Roban sangat memungkinkan untuk menghidupi, dimana sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya dikawasan konservasi tersebut (Ashartanto, 2018).

  • Greenpeace

Greenpeace (2017) mengawal dan membantu forum UKPWR untuk melakukan penolakan. Tahun 2014 Greenpeace merilis briefing paper yang memuat fakta-fakta merugikan terkait dampak proyek pembangunan PLTU Batang. Kajian Greenpeace menyebutkan, jika PLTU terbesar di Asia Tenggara itu dijalankan, dalam setahun akan mengeluarkan emisi karbon 10,8 juta ton. 

Temuan Greenpeace di tahun 2014 yang lain menyebutkan jika PLTU Batang terealisasi, akan mengeluarkan 226 kilogram merkuri per tahun. Limbah merkuri yang dihasilkan dari pembakaran batubara memberikan kerugian sangat besar mengingat 0,907 gram merkuri dapat mencemari 11 hektar danau dan membuat ikan tak layak dikonsumsi. Emisi merkuri seberat 226 kg ini sangat berdampak buruk bagi perairan laut di Batang yang selama ini menjadi sumber pencaharian puluhan ribu nelayan (Greenpeace dalam Mongabay, 2014).

  • Pemerintah dan konsorsium swasta

Pemerintah bersama konsorsium sejak tahun 2013 telah melakukan berbagai upaya pendekatan masyarakat melalui negosiasi dan musyawarah guna menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi untuk tanah, tanaman, dan bangunan milik masyarakat yang akan digunakan untuk pembangunan PLTU Batang (Aziz, 2014).  Pada akhirnya, Presiden Joko Widodo pun telah meresmikan pembangunan PLTU Batang pada 28 Agustus 2015 melalui peletakan batu pertama (Sekretariat Kabinet, 2015). 


  1. Behavior (perilaku)

Komponen terakhir, behavior (perilaku) merupakan aspek yang telah termanifestasi dalam bentuk tindakan seperti ancaman, paksaan, serangan dan kekerasan.

  • Paguyuban UKPWR dan Greenpeace

Pada tanggal 4 Juli 2012, warga Batang beserta puluhan anak muda para activist Greenpeace Indonesia mendatangi Kantor Kementrian Kelautan dan Perikanan di Jakarta. Tujuan warga Batang dan Greenpeace ialah untuk menyampaikan tuntutan warga Batang untuk tidak mengeluarkan ijin bagi pengalihgunaan kawasan konservasi laut Batang untuk menjadi lokasi pembangunan PLTU Batubara. Aksi ini dilakukan karena pada saat itu ribuan masyarakat yang tinggal di Desa Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban sedang dalam keadaan resah, gundah, dan cemas menghadapi kenyataan akan dibangunnya PLTU di daerah mereka dan ketidakpedulian pemerintah terhadap aspirasi warga Batang. Warga Batang hanya tidak ingin menerima nasib buruk seperti masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Cilacap dan Cirebon (Fiyanto, Greenpeace.org, 2012). 

Greenpeace bersama 150 warga Batang pada bulan Juli ditahun yang sama 2013 mengunjungi Kedutaan Besar Jepang di Jalan MH Thamrin untuk menyampaikan sebuah pesan dan aspirasi. Dalam suratnya bagi pemerintah Jepang, warga menuturkan kegelisahan, ketakutan serta harapan mereka (Fiyanto, Greenpeace.org, 2013). Karena merasa aspirasi dan suara yang mereka tujukan kepada pemerintah sendiri sepertinya kurang ditanggapi serius oleh pemerintah, sehingga inilah yang membuat Greenpeace dan dua orang perwakilan warga Batang datang ke Jepang untuk langsung bertemu perwakilan JBIC (Japan Bank for International Cooperation) dan Kementerian Keuangan Jepang, di Gedung Parlemen Tokyo, Jepang.

Tidak cukup advokasi sampai ke Jepang, pada tahun 2015, pada bulan Juni Greenpeace bersama warga Batang melakukan aksi di depan Istana Presiden, ratusan caping petani tertata rapi. Harapan warga Batang melakukan aksi tersebut didampingin oleh pihak Greenpeace ialah tidak lain berharap agar Presiden Joko Widodo akan mendengar suara rakyat Batang yang tidak ingin kehilangan tempat tinggal mereka dan mata pencaharian mereka selama bertahun-tahun (Mulaika, 2015).

  • Pemerintah dan Konsorsium Swasta

Akibat adanya penolakan warga terutama dimulai dari proses pembebasan lahan, pemerintah menggandeng Kodim Batang untuk terlibat dalam proses pembebasan lahan PLTU. Bupati Batang membentuk Tim Gabungan di mana Kodim Batang sebagai bagian dari Muspida terlibat untuk memperlancar proses pembebasan lahan. Kodim Batang bertindak proaktif memaksa warga menerima rencana proyek dan menekan para pemilik tanah untuk menerima ganti rugi (termasuk dengan cara mendatangi warga di rumah) (Kader, 2019).

Dalam laporannya, Kader (2019) juga menyebutkan bahwa aparat juga mencopoti sticker dan menghapus coretan tulisan dari aksi penolakan warga, masuk ke halaman rumah tanpa ijin, dan memaksa warga mencabut patok-patok penolakan menjual tanah. Keterlibatan aparat juga terlihat saat sosialisasi, di mana mereka akan siaga berjaga-jaga. Tim Gabungan atraktif melakukan pengawalan terhadap alat berat untuk meratakan tanah yang akan digunakan sebagai lahan PLTU. Di sisi lain, PT BPI mulai melakukan pemagaran lahan untuk PLTU atas sengketa tanah warga. 

Melengkapi penjelasan diatas, Galtung mengemukakan konsep tentang kekerasan. Menurutnya, kekerasan ada dalam beberapa bentuk, seperti kekerasan langsung (direct violence), kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan kultural (cultural violence). Kekerasan langsung dapat diatasi dengan mempengaruhi konflik behavior (B); kekerasan struktural dapat diatasi dengan menghilangkan contradiction (C) dari struktur dalam bentuk ketidakadilan; sedangkan kekerasan kultural dengan mempengaruhi konflik attitude (A).

Berdasarkan pada konsepsi Galtung, kita dapat menganalisabahwa rentetan kejadian kekerasan ini telah berujung pada suatu kekerasan langsung (direct violence). Kekerasan langsung (direct violence) terjadi pada 30 Juli 2013, di mana masyarakat Batang mendatangi pengeboran, mencoba memberitahu untuk menghentikan pengeboran yang belum berijin. Usaha masyarakat tersebut dihentikan oleh TNI, Polri, satpam dan sejumlah orang tak dikenal secara represif. Dari data yang dihimpun oleh LBH Semarang, korban yang terluka akibat dipukuli dan ditendang sejumlah 17 orang warga (Mongabay, 2013). Kekerasan struktural (structural violence) ditandai dengan adanya tujuh warga Batang yang ditahan pihak kepolisian tanpa alasan yang jelas karena aksi penolakan terhadap proyek PLTU. Warga tersebut dikriminalisasi dengan pasal berlapis-lapis. Tindak pidana yang disangkakan tersebut tidak pernah mereka lakukan dan hal ini seakan-akan justru dibuat sebagai sandera politik oleh pemerintah agar mempunyai titik tawar (KBR, 2013).


Model Resolusi Konflik

Johan Galtung menawarkan beberapa model yang dapat dipakai sebagai proses resolusi konflik, diantaranya: Peace keeping atau operasi keamanan yang melibatkan aparat keamanan dan militer. Hal ini perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain; Peace making, yakni upaya negoisasi antara kelompok kelompok yang berkepentingan; dan Peace building, yakni strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih menekankan pada kualitas interaksi daripada kuantitas.

  1. Peace Keeping

  • Menurut Galtung, pada saat proses peace keeping melibatkan aparat keamana dan militer, konflik di PLTU Batang menjadi contoh nyata bagaimana Pemerintah menggunakan kekuatan represifnya untuk meredam konflik terutama saat proses pembebasan lahan. Bupati Batang membentuk Tim Gabungan dengan melibatkan Kodim Batang untuk terlibat dalam proses pembebasan lahan, seperti penjagaa pada saat sosialisasi, melepas semua atribut penolakan (sticker dan tulisan), memaksa warga mencabut patok tanah, memaksa warga menjual tanahnya, begitu saat terjadi aksi masyarakat Batang turun ke jalan, aparat keamanan melakukan kekerasan dengan memukuli dan menendang warga, alhasil sebanyak 17 warga terluka. Begitu juga dengan aksi pengawalan alat berat milik PT BPI saat mulai melakukan perataan tanah untuk lahan PLTU (Kader, 2019).


  1. Peace Making

  • Banyak upaya yang dilakukan Greenpeace dan warga Batang yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia salah satunya bertemu investor terbesar di Jepang yang mendanai PLTU tersebut yaitu JBIC (Japan Bank for International Cooperation) agar membatalkan pembangunan proyek tersebut dan beralih pada penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan (YLBHI, 2014).


  1. Peace Building

  • Upaya membangun kembali keadaan setelah adanya konflik selama 4-5 tahun lebih, PT BPI bersama Pemerintah Kab. Batang merumuskan 3 sumber mata pencaharian sementara bagi petani dan buruh tani terdampak pembangunan PLTU Jawa Tengah, meliputi: (1) kompensasi sosial, dibayarkan kepada 718 petani selama 21 bulan dengan total per orang menerima Rp 8,1 juta; (2) lahan pengganti, meliputi penyediaan lahan seluas 32 ha bagi 218 orang, membangun dan memperbaiki saluran irigasi ± 5 km, setiap orang menerima 1.200 m2 (berikut peralatan dan operasional tanam pertama), disediakan 5 unit mobil untuk mobilisasi petani ke lokasi; dan (3) wirausaha baru pedesaan, meliputi 465 orang dari total 718 petani (65%) telah bergabung dalam program KUB BPI dengan bentuk usaha: industri rumah tangga, jasa produksi, simpan-pinjam, jasa, peternakan dan perikanan (Laporan Kunjungan DPRI RI ke PLTU Batang, 2018).


Penutup

Konflik kebijakan dalam pembangunan PLTU Batang dapat dilihat dari Teori Segitiga Konflik Galtung, yang memuat dinamika konflik (contradiction, attitude, behaviour), tipe kekerasan (direct, structural, cultural), dan model resolusi konflik (peace keeping, peace making, peace building).


Referensi

Apriando, T. Mongabay. (2013). Warga Desa Bentrok dengan Aparat Menolak Pengeboran Proyek PLTU Batang (https://www.mongabay.co.id/2013/07/31/warga-desa-bentrok-dengan-aparat-menolak-pengeboran-proyek-pltu-batang/, 1 Desember 2019)

Ashartanto, M. C. (2018). Perlawanan Masyarakat UKPWR Terhadap Pembangunan PLTU di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Aziz, A. T. (2014). Masalah Pengadaan Tanah untuk Pembangunan PLTU di Batang. Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014, hal. 601-620

Carpenter, Susan L. (1946). Managing Public Disputes: a Practical Guide for Government, Business, and Citizens' Groups. San Francisco: Jossey-Bass, 2001

Detik Finance. (2010). PLN Siapkan PLTU 2.000MW di Jateng Senilai US$ 3 Miliar. (finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-1338943/pln-siapkan-pltu-2000mw-di-jateng-senilai-us-3-miliar, 1 Desember 2019)

Fiyanto, A. (2012). Batubara Mematikan: Jejak Kehancuran Batu Bara (https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/3733/batubara-mematikan-jejak-kehancuran-batu-bara/, 1 Desember 2019)

Galtung, Johan. (1969). Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace Research. (online) Vol. 6, No. 3, hal. 167-191, (http://www.jstor.org/stable/422690 diakses pada 1 Desember 2019)

Galtung J. (1996). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. SAGE

Galtung, Johan. (2000). Conflict Transformation by Peaceful Means (The Transcend Method). (Online). (transcend.org/pctrcluj2004/TRANSCEND manual.pdf )

Greenpeace Indonesia. (2016). Nelayan Aksi Tolak PLTU Batang. (greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/2351/nelayan-aksi-tolak-pltu-batang/, 1 Desember 2019)

Ismail, I.  (2014). Kendala Investasi di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Pembangunan Proyek PLTU di Kabupaten Batang), POLITIKA, Vol. 5, No. 1, Oktober 2014

Komisi VII. DPRI RI. (2018). Laporan Kunjungan Spesifik Komisi VII DPR RI ke PLTU Batang, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah

KPPIP. PLTU Batang. (kppip.go.id/proyek-prioritas/ketenaga-listrikan/pltu-batang/, 8 November 2019)

Mongabay. (2013). Laporan Greenpeace: Kemunafikan Pemerintah Dorong Perubahan 

Mongabay. (2013). (https://www.mongabay.co.id/2013/02/07/laporan-greenpeace-kemunafikan-pemerintah-dorong-perubahan-iklim/, 1 Desember 2019)

Mulaika, H. (2016). PLTU BATANG: Gagal Penuhi Deadline, Greenpeace Desak Proyek Dihentikan (https://ekonomi.bisnis.com/read/20160218/44/520239/pltu-batang-gagal-penuhi-deadline-greenpeace-desak-proyek-dihentikan, 1 Desember 2019)

Nugraha, I. Mongabay. (2014). Greenpeace Ungkap Fakta Merugikan PLTU Batang. (https://www.mongabay.co.id/2014/02/14/greenpeace-ungkap-fakta-merugikan-pltu-batang/, 1 Desember 2019)

Sekretariat Kabinet. 2015. Presiden Jokowi Resmikan PLTU di Batang.Bukti Pemerintah bisa selesaikan Masalah. http://setgab.go.id/resmikan-pltu-di-batang-presiden-jokowi.html

Siaran Pers, JBIC Pertimbangkan Pembatalan Rencana Pendanaan PLTU Batang, (greenpeaceindonesia.com/JBIC Pertimbangakan Pembatalan Rencana Pendanaan PLTU Batang _ Greenpeace Indonesia.htm)

Sri Lestari. (2015). Masih ada masalah lahan, Presiden Jokowi resmikan PLTU Batang. (bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/08/150828_indonesia_pltu_batang, 3 Desember 2019)

Webel, Charles & Galtung, Johan. (2007). Handbook of Peace and Conflict Studies. New York: Routledge

YLBHI. (2014). Press Release: Pilih Lingkungan Bersih Warga Batang Datangi Pemerintah Jepang dan Investor PLTU Batang (ylbhi.or.id/informasi/berita/press-release-pilih-lingkungan-bersih-warga-batang-datangi-pemerintah-jepang-dan-investor-pltu-batang/, 1 Desember 2019)


Segitiga Konflik Galtung PLTU Batang Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Admin

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih telah mengunjungi blog saya. Mohon kritikan dan sarannya ya :)

Featured Post

#25 Meraba Urat Nadi Kehidupan di Pulau Larat

Nelayan di Pulau Larat Geliat kehidupan di Pulau Larat dapat diraba dari interaksi warga pada sumber daya alam, tradisi, da...

Visitors