Artikel ini merupakan sebuah pelajaran yang cukup menyentuh bagi kita semua, khususnya penulis sendiri. Artikel ini penulis dapatkan dari blog milik
http://rbumiya.blogspot.com/2011/12/bakyak-kyai-dan-nasi-pecel.html.
Selamat membaca, mohon maaf karena repost, semoga dapat bermanfaat.
Bakyak Kyai dan Nasi Pecel
Oleh Muhaimin Iqbal |
Senin, 26 December 2011 08:06 |
Seorang kyai tua tinggal beberapa ratus meter dari surau-nya yang selalu sepi. Dia selalu bangun satu jam menjelang subuh dan kemudian berjalan ke surau. Di keheningan malam desa, bakyak (alas kaki dari kayu) Pak Kyai ini menjadi pertanda awal pagi bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang jalan antara rumah Pak Kyai dengan suraunya. Begitu mendengar suara teklek – teklek –teklek , masyarakat yang punya urusan pagi itu segera bangun untuk memulai urasannya.
Ada yang berangkat ke pasar pagi-pagi di hari pasaran, ada yang mulai masak untuk membuka warungnya dlsb – namun tetap sangat sedikit yang kemudian mengikuti Pak Kyai ke surau. Hanya beberapa orang saja yang setia bermakmum di belakangnya ketika sholat subuh ditegakkan.
Mengamati perilaku masyarakat yang dilaluinya, dalam setiap kesempatan Pak Kyai ini ingin selalu mendakwahi mereka. Maka suatu pagi sepulang sholat subuh dia ingin mampir ke si mbok tukang nasi pecel dan suaminya yang tidak pernah dilihatnya ke surau.
Setelah selesai makan nasi pecel dari warung tersebut Pak Kyai mulai dengan strategi dakwahnya, dia bertanya ke si embok : “bapake teng pundi, kok mboten ketingal ?” (bapak kemana kok tidak kelihatan) ; dijawab oleh si embok : “Wonten wingking, mbantu nggodok toya” (di belakang, membantu masak air).
Lalu Pak Kyai melanjutkan dialognya dalam bahasa jawab tetapi langsung saya artikan yang kurang lebih begini : “Setiap saya berjalan ke surau, saya melihat warung ini masih tutup, dan ketika saya pulang warung ini sudah selalu buka…, apa yang membuatnya demikian ?”. Si embok menjawab : “Iya Pak Kyai, kami terbangun setiap mendengar bakyak Pak Kyai – untuk terus mulai masak dan membuka warung ini…”.
Pak Kyai yang sekaligus merangkap muadzin ini, mulai menangkap peluang untuk mendakwahinya , dia bertanya : “lho, kenapa yang di dengar kok suara bakyak saya – bukan ajakan saya untuk sholat di surau/masjid (suara adzan ) ?”. Dengan agak malu-malu si embok berusaha menjelaskan alasan suaminya tidak ke surau : “Anu Pak Kyai, suara bakyak Pak Kyai bisa membangunkan kami, terus kami dapat mulai buka warung dan langsung dapat uang untuk makan sekeluarga. Ajakan sholat (adzan) Pak Kyai mengajak kami ke surau lha terus yang mencarikan uang kami siapa ?”.
Sambil pingin meyakinkan Pak Kyai dengan argumennya, si embok balik bertanya : “Gusti Allah niku nopo estu enten nggih Pak Kyai ?, kok kulo nyuwon nopo-nopo dereng diparingi, dadosi tasih kedah kerjo ngaten niki…!” (Allah itu apa bener-bener ada sih Pak Kyai, kok saya minta apa saja belum ada yang diberi, jadi masih harus kerja seperti ini…!).
Mendapat pertanyaan yang seolah cerdas ini Pak Kyai desa ini tidak mau langsung menjawabnya, pertama karena pertanyaan ini tidak diantisipasinya – dia tidak langsung siap jawabannya saat itu, kedua dia tidak ingin berargumen dengan target dakwahnya pagi ini.
Setelah selesai makan nasi pecel Pak Kyai beranjak pergi , di tengah jalan dilihatnya ada gelandangan dengan badan dan baju yang kotor, rambut berantakan dan selalu menengadahkan tangan minta-minta pada orang yang lalu lalang dengan kalimat standarnya yang memelas “…telung dinten dereng mangan…” (tiga hari belum makan).
Pak Kyai merasa dapat ilham langsung balik ke warung nasi pecel tadi, dengan bergegas dia menyampaikan ke si embok yang tadi melayani dia : “Mbok, mbok, sampeyan lihat tukang ngemis disana itu…?”, si embok menjawabnya : “ Oh Iya pak Kyai, memang pekerjaannya setiap hari disitu ya begitu…”.
Pak Kyai melanjutkan : “Lantas mengapa embok tidak memberinya makan nasi pecel ini ?, nasi pecel disini kan banyak sekali – dia tidak perlu bekerja dengan mengemis setiap hari kalau setiap dia datang ke warung ini embok langsung beri dia makan…!”.
Si mbok kaget dengan saran Pak Kyai ini, dia menjawab : “Pak Kyai ini bagaimana sih !, nasi pecel yang ada di warung ini kan untuk dijual, kok kami malah disuruh memberikan begitu saja ke si pengemis…, mana bisa dia membayarnya ?”.
‘”Ini Dia” pikir Pak Kyai , dia langsung menyampaikan kalimat dakwahnya yang jitu ke si embok : “begitulah Allah mbok, Dia punya apa saja yang embok dan keluarga inginkan …, tetapi mana mau Dia memberikan semua keinginan ke mbok, lha wong mbok nggak mampu membayarnya kok…!”.
Merasa logika Pak Kyai mengenainya, dia mulai tertarik : “Lha terus bagaimana Pak Kyai ? bagaimana kami bisa ‘membeli’ kepada Allah apa yang kami inginkan…”. Dengan senang Pak Kyai menjawab : “Dengan mentaatiNya mbok, mengikuti perintahNya dan menjauhi laranganNya…, ya antara lain kalau Dia memanggil untuk sholat ke surau/masjid – penuhilah panggilanNya, terutama untuk suamimu – karena itu wajib bagi laki-laki”.
Begitulah kita semua, seperti keluarga tukang pecel tadi. Kita sibuk dengan urusan kita, sehingga ketika Allah memanggil (untuk sholat, zakat, menyantuni fakir-miskin, berhijrah untuk kebaikan, berjihad dst…) kita tidak segera meresponnya, tetapi ketika kita berdoa minta kepadaNya – mau kita segera diberiNya – mana bisa begitu ?. Wa Allahu A’lam.
|
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih telah mengunjungi blog saya. Mohon kritikan dan sarannya ya :)