Jakarta Darurat Sampah!

Persoalan sampah memang tidak ada habisnya dan sudah menjadi masalah yang serius terutama di kota-kota besar. Dengan kondisi makin besar dan meningkatnya kebutuhan penampungan sampah di satu sisi, dan makin terbatasnya lahan untuk pengelolaan sampah di sisi yang lain, maka mengharuskan Pemerintah DKI Jakarta untuk bekerja sama dengan daerah-daerah lain di sekitarnya. Maka dari itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bekasi bekerja sama untuk pengelolaan sampah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli lahan di Kota Bekasi untuk dijadikan Tempat Pembuangan Akhir, dengan seiring perjalanan waktu berubah menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Dalam kerja sama, terjadi konflik antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemkot Bekasi terkait dengan pengelolaan sampah, dan konflik terjadi pada tahun 2015 sampai 2016.


Anggaran pengelolaan sampah termasuk di dalam anggaran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang dalam APBD DKI Jakarta 2019 mencapai Rp 3,49 triliun. Anggaran UPST 2017: Rp 186,5 miliar (meningkat 68% menjadi Rp 314,4 miliar pada 2018). Pada 2019, anggaran UPST melonjak 276% menjadi Rp 1,18 triliun (anggaran UPST 2019 terbesar terdapat di pengadaan Intermediate Treatment Facility (ITF) Jakarta sebesar Rp 750 miliar.


Ada berbagai alasan penyebab konflik terjadi,

terdapat 4 penyebab yaitu: 1) Pemerintah Kota Bekasi merasa Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran perjanjian kerja sama, yang menjadi masalah pemicu utama adalah pelanggaran rute truk sampah yang akhirnya membuka pelanggaran-pelanggaran yang lainnya. 2) Reaksi Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama yang terkesan arogan terhadap DPRD Bekasi membuat konflik ini semakin memanas. 3) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merasa penyebab semua ini karena wanprestasi yang dilakukan oleh pihak ketiga yaitu PT. Godang Tua Jaya. 4) Warga yang merasa di rugikan mulai menutup jalan menuju TPST Bantar Gebang dan puncaknya warga menutup TPST Bantar Gebang pada Juni 2017, warga menolak swakelola TPST Bantar Gebang karena mereka takut pengelolaan sampah kedepannya tidak berjalan dengan baik.


Dalam penyelesaian konflik dilakukan pertemuan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi membicararakan addendum perjanjian. Pemeritah DKI Jakarta perlu menangani masalah sampah dari akar mulai dari pengurangan sampah yang di angkut ke TPST Bantar Gebang dan realisasi dari ITF yang rencananya akan di bangun untuk mengolah sampah di DKI Jakarta, karena masalah sampah ini tidak akan habis karena pembuangan sampah dilakukan di kota lain meskipun tanah dimiliki oleh DKI Jakarta.



Dari matriks kelayakan alternatif di atas terkait dengan permasalahan konflik sampah di Jakarta dan Bekasi (TPST Bantargebang), terlihat bahwa alternatif kebijakan pertama (Pertemuan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemkot Bekasi membicararakan addendum perjanjian) mendapatkan jumlah skor tertinggi 47. Peringkat prioritas kedua diikuti dengan bentuk policy alternative berupa “Realisasi dari Intermediate Treatment Facility (ITF) yang rencananya akan dibangun untuk mengolah sampah di DKI Jakarta” (skor 42), prioritas ketiga yang harus diambil oleh Pemkot DKI Jakarta adalah bentuk alternatif kebijakan dengan cara “Pemeritah DKI Jakarta perlu menangani masalah sampah dari akar mulai dari pengurangan sampah yang di angkut ke TPST Bantar Gebang” (skor 40).


Alternatif kebijakan dengan renew addendum perjanjian antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemkot Bekasi menjadi prioritas dengan adanya konflik kepentingan yang terjadi, di mana Bekasi sebagai domain yang mempunyai wilayah atas TPST Bantargebang. Adanya dana hibah dann kompensasi menjadi penting atas externality cost yang ditimbulkan dengan volume sampah yang masuk ke Bantargebang. Saat ini bentuk hibah dan kompensasi mulai terfokus ke dana community develpment, kesehatan, dan pendidikan. Dari sisi indikator feasibility (kelayakan), aspek cost, legal, dan dukungan politik sangat berpengaruh terhadap pembaharuan addendum. Addendum pada prinsipnya, apa yang dibutuhkan warga (Kota Bekasi) yang dituangkan dalam perjanjian kerja sama. Di tahun 2018 dana kompensasi/hibah senilai Rp 194 miliar yang telah digelontorkan ke Pemkot Bekasi.


Prioritas kedua alternatif kebijakan yang harus segera diimplementasikan oleh Pemprov DKI Jakarta adalah Realisasi dari Intermediate Treatment Facility (ITF) yang rencananya akan dibangun untuk mengolah sampah di DKI Jakarta. Sesuai dengan Masterplan Pengelolaan Sampah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2032, fasilitas tersebut akan dibangun di 4 (empat) lokasi berbeda di DKI Jakarta, antara lain di Sunter, Marunda, Cakung, dan Duri Kosambi, sehingga apabila fasilitas ini dibangun, maka akan dapat mengurangi ketergantungan dengan TPST Bantargebang. Pada 2019, anggaran UPST melonjak 276% menjadi Rp 1,18 triliun (anggaran UPST 2019 terbesar terdapat di pengadaan Intermediate Treatment Facility (ITF) Jakarta sebesar Rp 750 miliar.


Ketiga, Pemprov DKI Jakarta perlu mengambil langkah pelibatan dan partisipasi publik dengan lebih luas dan masif. Dari data yang dilansir dari Dinas Lingkungan Hidup, sumber sampah terbesar berasal dari permukiman yaitu 60% dari total volume sampah yang masuk ke TPST Bantargebang. Dari segi kompoisi volume total sampah yang masuk masih didominasi oleh sampah plastik sebesar 30% dan sampah sisa makanan sebesar 39%. Hal ini penting menjadi perhatian dan meningkatkan awareness publik melihat sumber dan komposisi sampah yang masuk selama ini. Seperti salah satu inovasi yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya dengan inovasi bank sampah dan membayar bus dengan botol plastik. Secara legalitas, Ketentuan terkait larangan membuang sampah sembarangan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, law enforcement di lapangan cenderung rendah. Partisipasi dan pelibatan bukan hanya sebagai langkah dari penegakan hukum, perlu sebagai perventif dan menjadikan ini sebagai isu bersama, tanggungjawab bersama, dan kepekaan bersama yang harus dibangun. Dengan melibatkan seluruh element dari triangle synergy, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian langkah-langkah kebijakan yang diambil bukan hanya menjadi domain dan tanggungjawab pemerintah semata, tetapi adanya keterlibatan publik secara holistik turut serta sebagai aktor implementator suatu kebijakan.







Jakarta Darurat Sampah! Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Admin

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih telah mengunjungi blog saya. Mohon kritikan dan sarannya ya :)

Featured Post

#25 Meraba Urat Nadi Kehidupan di Pulau Larat

Nelayan di Pulau Larat Geliat kehidupan di Pulau Larat dapat diraba dari interaksi warga pada sumber daya alam, tradisi, da...

Visitors